Bagi FPI, Belati dan Pistol Bukan Senjata?

Berita Terkini - Enak juga menjadi anggota FPI, atau menjadi seorang Munarman. Hanya mengklaim ini dan itu, jika fakta yang ditemukan di lapangan berbeda, tinggal mengelak bahwa mereka tidak seperti itu. Pelaku pasti penyusup untuk membuat buruk citra FPI, dll.

Peristiwa terbaru adalah soal tewasnya enam laskar FPI di tol Cikampek beberapa waktu lalu, saat dini hari. Keenam orang itu diduga sedang dalam tugas "mengawal" junjungan, yang juga mereka angkat sebagai imam besar, yakni Rizieq Shihab.

Sebagaimana kita ketahui, sepulangnya Rizieq dari Arab Saudi, dia kerap berbuat ulah yang tentu saja membuat marah banyak orang. Sudah tahu bahwa wabah berbahaya, covid-19 sedang menggila, yang penyebarannya sangat cepat melalui kerumunan massa, namun dia dan kelompoknya sengaja menciptakan kerumunan.

Seperti tidak peduli sama sekali, Rizieq dan orang-orang dekatnya, membiarkan dan menikmati momen saat ribuan simpatisan menyambutnya di areal Bandara Soekarno-Hatta, Selasa 10 November 2020 silam.

Siapa pun dia, kalau masih waras, pasti mengelus dada menyaksikan pemandangan tersebut. Selama delapan bulan semua orang dengan "berat hati" berusaha menghindari kerumunan supaya wabah ini segera bisa diakhiri. Namun tiba-tiba ada oknum yang membiarkan massa menciptakan kerumunan besar dan luas.

Sia-sia sudah jerih payah pemerintah -- khususnya pemerintah daerah sekitar lokasi -- yang selama delapan bulan berjibaku menerapkan aturan dan peraturan soal kerumunan massa ini. Semakin lengkap pelecehan atas hukum itu ketika kerumunan itu masih berlanjut dalam acara Maulid dan pesta pernikahan sang putri, di Petamburan.

Saat hukum negeri ini diinjak-injak sedemikian keji dan menghinakan oleh Rizieq Shihab dan kelompoknya, untunglah negara merespons dengan semestinya. Memang terlambat, sebab bertahun-tahun kelompok ini dibiarkan begitu saja sehingga merasa sebagai penguasa tandingan yang punya hak menerapkan hukum sendiri.

Ketika negara hadir, Rizieq Shihab dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua ulahnya yang menyebabkan kerumunan di masa pandemi. Dan soal kerumunan itu tentu hanya pembuka, sebab di belakangnya masih banyak kasus hukum yang harus dituntaskan demi terciptanya kepastian hukum dan kesetaraan dalam keadilan di masyarakat.

Tapi sungguh tidak dinyana ketika Rizieq Shihab tidak memperlihatkan jiwa besar sebagai seorang pemimpin agama, bahkan bergelar imam besar. Bagaikan orang yang tidak memiliki akhlak, dia berupaya menghindar dan mengelak. Adegan uber-uberan pun terjadi karena diperkirakan dia ingin bersembunyi.

Hingga terjadilah aksi penembakan oleh aparat kepolisian terhadap enam laskar FPI yang sedang mendampingi Rizieq dan keluarga menuju "tempat pengajian subuh". Enam pengawal yang disebut laskar, tewas. Empat lainnya melarikan diri.

Polemik pun terjadi. Munarman, panglima FPI membela kelompoknya sebagai korban kesewenangan polisi. Dia mengatakan bahwa FPI tidak pernah menggunakan senjata, sebab mereka sudah terbiasa membela diri dengan tangan kosong.

Ocehan oknum ini pasti menjadi bahan tertawaan semua orang yang sudah paham betul sepak terjang FPI. Apalagi pihak kepolisian menyita sejumlah senjata tajam dan dua pucuk pistol dari laskar FPI yang tewas itu.

Sebagaimana diduga, Munarman berkilah bahwa senjata api itu bukan milik mereka, sebab pihaknya tidak mungkin punya akses ke senjata api. Namun berdasarkan kronologi yang disampaikan kepolisian, laskar FPI itulah yang duluan menyerang hingga membahayakan keselamatan petugas. Maka sesuai prosedur, harus melumpuhkan penyerang.

Di tengah polemik semacam ini, publik pasti terbelah dalam dua sikap. Ada yang percaya keterangan polisi, dan sebaliknya. Namun ketika Munarman bersikeras mengatakan bahwa FPI tidak memiliki senjata karena sudah terbiasa dengan tangan kosong, publik pun langsung tahu bahwa dia berbohong (lagi). Sebab selama ini sudah banyak banyak bukti bahwa kawanan ini sering membawa-bawa senjata tajam.

Ormas yang kini tidak memiliki izin alias liar ini semakin menjadi bahan cemoohan sebab salah satu penggemarnya, Fadli Zon, ngibul besar dengan mengatakan bahwa FPI itu pecinta damai.

Hal itu dikatakan kader Partai Gerindra ini menyusul tewasnya keenam laskar FPI tersebut. Anggota DPR yang dicandai sebagai admin Lambe Turah oleh komika Kiki Saputri ini juga heran mengapa simpatisan Rizieq Shihab itu ditembak mati oleh aparat kepolisian. "Memangnya mereka teroris?" tanya Fadli Zon seraya mendukung statemen Munarman bahwa pendukung Rizieq cinta damai dan tak dibekali senjata.

Mendengar kedua orang ini, kita hanya bisa mengernyitkan kening. Kok bisa-bisanya dengan enteng menyemburkan kata-kata, sementara apa yang mereka katakan itu sudah merupakan rahasia umum. Jadi hanya ada dua kemungkinan: yang pertama, kedua oknum ini mengira publik itu dungu, dan bisa dikadali atau dibohongi mentah-mentah. Kemungkinan kedua, keduanya memang dasar dungu.

Mengklaim FPI sebagai cinta damai dan antikekerasan itu hanya memperlihatkan kebohongan. Sebab terlalu banyak jejak digital soal aksi-aksi gerombolan ini yang jauh dari damai. Mempersekusi dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang tidak ramah, adalah salah satu ciri menonjol dari kelompok ini di masyarakat.

Klaim Munarman bahwa anak buahnya tidak pernah membawa senjata semakin dimentahkan oleh kejadian terbaru di Nagreg Cicalengka. Kendaraan yang hendak ke Jakarta untuk aksi demo bersama FPI, ditangkap karena penumpangnya membawa senjata tajam, samurai, parang, panah dan busur.

Diperhadapkan dengan fakta-fakta seperti ini, pihak FPI bisa saja ngeles bahwa itu bukan bagian dari kelompok mereka, melainkan penyusup. Atau kemungkinan lain, mereka menganggap bahwa belati, sangkur, celurit, samurai, parang, golok, dll., itu bukan senjata, namun hanya sekadar mainan?

No comments

Powered by Blogger.
------------------------------