Mikir Keras! Bagaimana Cara Ternak 10 T jadi 15 T, Lalu Menguap di Atas Atap?


Berita Terkini - Karena tiba-tiba Anies, melalui Riza Patria, meminta pemerintah pusat ambil alih koordinasi penanganan Covid-19 di Jabodetabek, maka saya tiba-tiba pula berniat menelusuri bagaimana kronologi penanganan Covid-19 di Jakarta selama ini.

April tahun lalu, Pemprov DKI Jakarta menganggarkan 10 triliun rupiah untuk penanganan Covid-19. Sehingga banyak orang berharap, dengan anggaran sebesar itu, Covid-19 di Jakarta dapat segera teratasi, diputus mata rantai, minimal ditekanlah laju penyebarannya. Tapi ternyata, Jakarta hampir selalu, keluar sebagai pemenang, dalam jumlah pasien terbanyak terjangkit Covid-19.

Pemprov DKI kemudian mengaku, menyelenggarakan tes cepat dengan lebih intens. Menurut pengakuan mereka, jumlah orang yang dites jauh lebih banyak dari minimal persyaratan yang diberikan WHO. Oleh karena itu, kata mereka, jumlah yang terdeteksi, jauh lebih banyak dibandingkan kota-kota lain di Indonesia.

Masyarakat manggut-manggut saja, karena bingung juga bagaimana cara mereka membuktikan apakah benar tes masal itu dilakukan jauh lebih banyak dari kota lain atau tidak. Yang masyarakat tahu, peningkatan jumlah terpapar korona DKI, selalu teratas, dan berkali-kali menyentuh rekor tertinggi.

Kemudian, karena tingkat penularan masih tinggi, DKI mulai mencanangkan tes usap masal, dengan biaya awal, info yang berhembus liar, sekitar 2 jutaan. Namun karena ada peraturan dari Menkes, akhirnya diturunkan menjadi 900 ribu per tes.

Mata saya mulai berbinar. Saya bayangkan, dengan jumlah penduduk Jakarta sekitar 10 juta, anggaplah 60 persen mendapatkan tes usap, tentu uang yang dapat dikumpulkan oleh DKI bisa mencapai 5 triliun. Itu belum termasuk uang sanksi yang berhasil dikumpulkan selama PSBB ringan, sedang dan ketat diberlakukan.

Sanksi berupa uang, atas denda dari warga dan perusahaan yang tidak mengindahkan protokol kesehatan, Jakarta mengumpulkan sebesar 5 miliar. Entah, mungkin sudah termasuk denda MRS di dalamnya, saat dia menghimpun massa di acara perkawinan anaknya, atau belum.

Saya pikir, ini bisnis yang bagus juga. Dengan modal 10 T, DKI bisa menghasilkan pendapatan sekitar 15 triliun, dalam waktu yang belum genap setahun.

Oleh karena itu, saya tadinya merasa santai, saat DKI kemudian melakukan kerja bakti mengecat sedemikian banyak atap rumah warga di bilangan Lenteng Agung, di sekitar jalan layang Tapal Kuda. Saya pikir, mungkin dengan keberhasilan “bisnis” itu, mereka sedang berbagi rejeki dengan warga, sehingga pengecatan rumah warga pun dilakukan dengan senang hati.

Tapi, ternyata saya salah. Pengecatan itu bukan dalam rangka perayaan bisnis yang berhasil. Nyatanya, tiba-tiba Pemprov DKI lepas tangan dengan penanganan korona yang semakin tidak terkendali di DKI. Mereka sudah mencoba banyak istilah, dari local lock down, PSBB, PSSB transisi, PSBB diperketat, tarik rem darurat 1 dan 2, PPKM, dan lainnya, tapi tetap penyebaran virus di DKI masih saja yang tertinggi.

“Pak Gubernur berkoordinasi dengan pemerintah pusat, berharap nanti pemerintah pusat bisa mengambil alih, memimpin,” ujar Riza Patria di Balai Kota DKI Jakarta.

Saya menjadi tersadar, ternyata apa yang saya kira bisnis bagus, ternak 10 triliun menjadi 15 triliun, mungkin memang berhasil, tapi tidak dalam bentuk uang. Dia mungkin dialokasikan di atas atap-atap rumah warga.

Ya, namanya di atas atap, banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Bisa saja digondol kucing. Bisa juga digerogoti tikus. Bisa jatuh ke got bersama tetesan air hujan. Atau bisa juga menguap bersama tinner, bahan adukan cat genteng yang bisa menguap bersama datangnya matahari.

Kalau begini ceritanya, ini mesti dibuat ribut, pikir saya.

Tapi, belum sempat saya berbuat apa-apa, mereka sudah mengirimkan anak buahnya, Panji, yang sudah membuat heboh duluan dengan merendahkan NU dan Muhammadiyah lalu meninggikan FPI.

Emosi saya menjadi teralokasikan ke Artis Tarikan Leasing itu. Saya menjadi terlalu sibuk mengurusinya, sehingga masalah ternak 10T menjadi 15 T, lalu menguap, mungkin saya akan pikirkan kemudian hari.

Kata Mas Yusuf, tetangga saya, “Saya boro-boro mikirin uang 10 T bisa menjadi 15 T itu. Wong, mikirin cara selfie di atap rumah-rumah Jakarta saja, saya sudah mikir keras! Sayang, lho, sudah dicat mahal-mahal, masa saya tidak bisa nikmati?”

No comments

Powered by Blogger.
------------------------------